Kamis, 10 Desember 2015

Rusaknya Terumbu Karang


Walaupun potensi sumberdaya hayati tersebut sangat kaya namun sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar 6.600 desa pantai, masih berada dibawah garis kemiskinan sebagaimana hasil studi sosial ekonomi proyek MREPP tahun 1996. Dari data tersebut terlihat bahwa rata-rata penghasilan penduduk pesisir di teluk Kotania Pulau Seram dan Pulau Ambon sekitar Rp. 475.625.- pertahun, sementara di desa pantai bagian Barat dan Selatan Pulau Lombok sekitar Rp.336.952.- pertahun. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat pesisir untuk mengeksploitasi sumberdaya kelautan melebihi daya dukungnya agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, atau bekerja sama dengan pedagang ikan karang.

Masalah yang lebih rumit adalah ada sekelompok masyarakat yang berpendidikan dan bermodal kuat menggunakan bahan-bahan cyanida dan bom serta didukung dengan kapal dan peralatan selam untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan karang serta berkompetisi dengan masyarakat nelayan tradisional. Modal dan keuntungan mereka digunakan juga untuk menetapkan kolusi dengan penguasa tertentu, sehingga bila tertangkap sering mengalami kesulitan untuk dihukum.

Ekosistem terumbu karang mempunya potensi ekonomi yang sangat besar mendorong pengambilan sumberdaya yang dikandungnya secara berlebihan (over exploitation)serta kurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi. Karena adanya asumsi bahwa sumberdaya yang berada di ekosistem terumbu karang adalah milik bersama (common property), sehingga bila mereka tidak emanfaatkannya pada saat ini, maka akan dimanfaatkan orang lain (tragedy of common). Untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati tersebut, sebagian besar dari mereka menggunakan racun cyanida, bahan peledak, muro ami, dan bubu yang semuanya itu merusak ekosistem terumbu karang. Para pengguna racun Cyanida umumnya bermaksud menangkap ikan karang untuk dipasarkan dalam keadaan hidup di negara tertentu, sehingga mereka membentuk jaringan penangkap dan pemasaran secara internasional. Sedang ikan-ikan yang dibom biasanya mati dan mengalami kehancuran sehingga perlu dipasarkan dalam skala propinsi, regional atau nasional.

Aktivitas wisata bahari seperti penyelam juga memberikan kontribusi terhadap laju kerusakan akibat jangkar perahu atau terinjak penyelam pemula. Intensifikasi pertanian di DAS Hulu, akan meningkatkan laju erosi tanah dan sedimentasi kelaut. Jika tidak ada ekosistem mangrove yang efektif menyerap sedimen tanah, maka proses sedimentasi ini akan menutupi permukaan karang sehingga karangnya mati. Kegiatan pembangunan dipesisir sekitar ekosistem terumbu karang juga menimbulkan dampak negatif yang mengganggu kelestariannya, seperti kegiatan reklamasi di Teluk Manado dan Teluk Lampung, serta daerah-daerah lainnya.

Beberapa aktivitas manusia yang dapat merusak terumbu karang :
  1. Membuang sampah ke laut dan pantai yang dapat mencemari air laut.
  2. Membawa pulang ataupun menyentuh terumbu karang saat menyelam, satu sentuhan saja dapat membunuh terumbu karang.
  3. Pemborosan air, semakin banyak air yang digunakan maka semakin banyak pula limbah air yang dihasilkan dan dibuang ke laut.
  4. Pengunaan pupuk dan pestisida buatan, seberapapun jauh letak pertanian tersebut dari laut residu kimia dari pupuk dan pestisida buatan pada akhinya akan terbuang ke laut juga.
  5. Membuang jangkar pada pesisir pantai secara tidak sengaja akan merusak terumbu karang yang berada di bawahnya.

Sumber terbesar dari kematian terumbu masif adalah perusakan mekanik oleh badai tropik yang hebat. Topan atau angin puyuh yang kuat ketika melalui suatu wilayah terumbu sering merusak daerah yang luas di terumbu karang. Sumber kedua terbesar yang menyebabkan bencana kematian terumbu, adalah ledakan Acanthaster planci (bintang bulu seribu) akibat adanya kegiatan pengerukan dan beberapa bahan kimia (pestisida) membuka ruangan baru bagi Acanthaster planci muda, ledakan populasi juga diakibatkan oleh kegiatan manusia yang memindahkan predator utama bulu seribu yaitu Charonia tritonis untuk diambil cangkangnya (Nybakken 1988).

Kegiatan manusia secara langsung dapat menyebabkan bencana kematian di terumbu melalui penggalian dan pencemaran (Nybakken 1988). Berdasarkan analisis Burke, dkk. (2002) 25% kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh pembangunan pesisir, 7% diakibatkan oleh pencemaran, 21% diakibatkan oleh sedimentasi, 64% akibat penangkapan yang berlebihan, 54% akibat penangkapan ikan dengan melakukan pengrusakan, 18% diakibatkan oleh pemutihan terumbu karang.

Penyakit yang biasanya menyerang karang disebut sebagai White band disease dan Blank band disease atau penyakit gelang putih, ditandai dengan memutihnya sebagian koloni terumbu. Hal ini disebabkan oleh serangan bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri dipicu oleh kondisi lingkungan yang tidak normal seperti pencemaran dan kenaikan suhu air laut (Akmal 2002).

Beban nutrient yang berlebihan menyebabkan berkembangnya alga secara berlebihan (eutrofikasi) sehingga dapat menutupi dan membunuh organisme coral atau timbulnya blooming dari fitoplakton (Dahuri, dkk 2004) Akmal (2002) mengungkapkan hubungan antara pemanasan global, penipisan ozon dan terumbu karang mengakibatkan tingkat karbondioksida meningkat secara kimiawi akan menghambat pertumbuhan bunga karang oleh polip-polip. Perubahan suhu menimbulkan pemutihan karang pada musim panas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar